PPDB Zonasi versus Usia, Apa Solusinya?

Seto Mulyadi Ketua Umum LPAI
LPA BEKASI. KEKISRUHAN terkait dengan penerimaan siswa baru berlangsung di sejumlah daerah di Tanah Air. Semuanya mempersoalkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Episentum polemiknya ialah berkenaan dengan ketentuan bahwa ketika terjadi penumpukan calon siswa baru di satu zona, penerimaan PPDB ditentukan berdasarkan urut kacang alias diprioritaskan kepada yang lebih tua.Polemik tentang usia sebagai kriteria (tambahan)PPDB mengingatkan saya pada hikayat Bung Karno sewaktu kecil. Selepas kelas lima, Sukemiayah Soekarno ingin agar anak laki-lakinya itu dapat menempuh pendidikan di sekolah berbahasa Belanda (Europese Lagere School, ELS) di Mojokerto.

Soekarno diterima sebagai murid di sana, tetapi sayangnya kemampuannya dalam berbahasa Belanda masih belum memenuhi standar minimal siswa kelas enam. Soekarno khawatir ia akan menjadi sasaran olok-olok jika bersekolah di ELS dengan kembali ke tingkat yang lebih rendah.Namun, Sukemi tak kehilangan akal. Anak kebanggaannya itu tetap didaftarkannya di ELS, turun dari kelas enam, dengan usia yang diubah. Umur Soekarno dibuat lebih muda satu tahun sehingga syarat formal terpenuhi, beban mental pun teratasi.Sepotong kisah di atas menunjukkan bahwa orang kita sejak dulu memang sudah 'kreatif' menyiasati situasi. 'Kreativitas' seperti itulah yang tampaknya sudah diantisipasi jajaran Kemendikbud sebelum menyusun Permendikbud 44/2019. 

Membaca tuntutan zaman.
Bila mengandalkan semata mata data dalam kartu keluarga untuk keperluan mendaftarkan anak berdasarkan jalur zonasi, oknum orangtua bisa saja menitipkan anak mereka ke kartu keluarga pihak lain yang berada di zona yang dikehendaki orangtua tersebut.

Patgulipat seperti itu dapat mengakibatkan terdapatnya jumlah calon siswa yang jauh melampaui kuota di zona bersangkutan. Bila itu terjadi, solusi paling objektif sekaligus paling realistis ialah mengurutkan siswa berdasarkan tahun kelahiran mereka.Tentu, setiap regulasi memiliki positif negatifnya. Selalu ada kelebihan, sekaligus tersedia ruang untuk penyempurnaan. PPDB dengan memberlakukan unsur tambahan, yaitu urutan usia, saya lihat sebagai ketentuan yang sebenarnya telah membaca tuntutan zaman.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, sebagai contoh, mencatat partisipasi pendidikan di Indonesia memang naik, tetapi masih ada jutaan anak yang terpaksa putus sekolah. Setelah berhadapan dengan sangat banyaknya persoalan anak-anak sejak puluhan tahun silam, ditambah lagi, dengan bacaan saya atas situasi kontemporer, saya menemukan beberapa hal yang menjadi penyebab anak mulai bersekolah dengan usia yang katakanlah melampaui usia lazim pada jenjang pendidikan yang ditempuhnya.
Pertama, anak berhadapan dengan hukum. 
Kedua, anak harus bekerja sebagai mesin keuangan keluarga. 
Ketiga, anak yang terkendala untuk memiliki dokumen kependudukan, tetapi di sana-sini masih saja itu diwajibkan secara mutlak sebagai syarat pendaftaran calon siswa.Lalu, Keempat, anak-anak yang menjalani pernikahan pada usia belia. 
Kelima, anak yang menderita sakit serius atau pun anak yang harus memelihara orangtua mereka yang mengidap sakit kronis.

Kondisi - kondisi tersebut memaksa anak untuk menurunkan pendidikan (bersekolah) dari agenda kehidupan yang sesungguhnya merupakan hak anak-anak mereka sekaligus kewajiban negara. Konsekuensinya, itu tadi: mereka mulai bersekolah pada usia lebih tua daripada sesama siswa di tingkatan yang sama.Negara memang telah mengambil cukup banyak prakarsa untuk menanggulangi masalah anak putus sekolah tersebut. Ujian-ujian kesetaraan pun diadakan untuk maksud yang sama. Namun, sulit dimungkiri, memastikan seluruh anak usia sekolah di Indonesia bisa mengenyam bangku pendidikan formal merupakan amanat konstitusi yang membutuhkan kebijakan jangka panjang dan implementasi sepenuh hati agar dapat terealisasi.


Nonformal dan informal.

Jalan keluar atas berbenturannya sistem zona dan ketentuan urut kacang, menurut saya, ialah sistem pendidikan nonformal dan informal, semacam sekolah berbasis rumahan (home schooling). Titik awalnya ialah pemerintah, baik pusat maupun daerah, menetapkan batasan usia secara lebih wajar (berbeda dengan standar usia pada permendikbud yang bisa dibilang relatif terlalu tua).Sebagai ilustrasi, PPDB siswa kelas 1 SMA dibatasi hanya bagi anak-anak berusia 15 hingga 17 tahun. Warga negara yang telah melewati rentang usia tersebut, berarti sudah memasuki usia dewasa, tetap dapat menempuh pendidikan SMA, tetapi tidak menjalaninya di bangunan sekolah tertentu.

Sebagai gantinya, mereka dapat menjadi siswa SMA dengan metode home schooling tersebut. Karena kegiatan belajar berbasis di luar bangunan sekolah, para pelajar SMA berbasis home schooling itu hanya perlu sesekali datang ke sekolah tertentu, yang berada di zona mereka pada waktu di luar jam belajar siswa konvensional.Sesi-sesi insidental itu diselenggarakan untuk memenuhi aktivitas belajar-mengajar, yang tidak dapat dilakukan lewat kegiatan belajar berbasis rumahan. Dengan semangat mendekatkan sekolah ke masyarakat, para guru juga dike rahkan sebagai penggeraknya, yaitu lewat aksi sambang siswa baik di rumah mereka masing-masing maupun di satu lokasi tertentu, yang di situ berkumpul pula para siswa home schooling secara bersama-sama.

Pendidikan nonformal dan informal berbasis rumahan merupakan sistem yang sesuai dengan perkembangan kehidupan para siswa yang berusia lebih lanjut. Mereka yang pada saat yang sama harus menjalankan peran sebagai roda ekonomi keluarga, atau pun mereka yang harus melaksanakan pengabdian ekstra kepada orangtua yang tengah menderita sakit, tetap dapat menjalani pendidikan secara wajar, dengan sasaran yang terukur. Dengan memahami kondisi para pelajar tersebut, home schooling bisa saja diselenggarakan dengan kurikulum SMK bukan SMA sebagai konsentrasinya. Kurikulum SMK tampaknya lebih sesuai dengan kebutuhan pragmatis para pelajar tersebut. 

Penyelenggaraan home schooling ini tidak akan mengganggu sistem zonasi. Metode sekolah berbasis rumahan, sekaligus mempermudah negara memenuhi kewajibannya, yakni memperluas kesempatan belajar bagi seluruh warga masyarakat.Yang paling utama, pendekatan home schooling apalagi yang berkurikulum SMK akan memperkuat upaya setiap anggota masyarakat untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Hak anak-anak dan kewajiban negara tampaknya tetap dapat bersimpul di titik temu bernama home schooling ini. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar