Penulis : Seto Mulyadi Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma - 05 January 2019, 02:30 WIB |
LPA BEKASI.
SAAT menapak 2019, bagaimana prospek dunia pendidikan anak di
Indonesia? Butuh ulasan berseri untuk menyorotinya secara lengkap.
Becermin pada kaleidoskop 2018, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) mencatat meningginya kasus pelanggaran hak anak di lingkungan
pendidikan, baik dari sisi jumlah maupun bobot kasus.
Sampai di simpulan ‘meninggi’ itu, saya memberikan acungan
jempol untuk KPAI. Radar KPAI mampu menangkap fenomena pelanggaran hak anak
dengan daya jangkau luas.
Risau atau tenang?
Seperti sering saya sampaikan di berbagai kesempatan, meningginya statistik kasus seperti dimuat dalam catatan KPAI sangat mungkin mengindikasikan tren positif. Paling tidak, itu merupakan pertanda bahwa masyarakat masih mau melaporkan masalah-masalah anak ke KPAI. Kesediaan masyarakat untuk mengadukan kasus-kasus anak ialah manifestasi kepercayaan publik. Demikian tafsiran positifnya.
Seperti sering saya sampaikan di berbagai kesempatan, meningginya statistik kasus seperti dimuat dalam catatan KPAI sangat mungkin mengindikasikan tren positif. Paling tidak, itu merupakan pertanda bahwa masyarakat masih mau melaporkan masalah-masalah anak ke KPAI. Kesediaan masyarakat untuk mengadukan kasus-kasus anak ialah manifestasi kepercayaan publik. Demikian tafsiran positifnya.
Tiga hal absen. Padahal, itu sangat penting dari cermatan KPAI.
Pertama, bagaimana deskripsi kasus demi kasus anak di lingkungan pendidikan
berdampak terhadap mutu dunia pendidikan di
Indonesia.
Nalar saya mengatakan keselamatan peserta didik di sekolah
merupakan kebutuhan mutlak setiap anak dan keluarga. Dengan kata lain, peserta
didik bisa menjalani proses edukasi secara aman dan selamat di sekolah
merupakan kriteria mutlak bahkan fundamental bagi mutu sekolah dimaksud.
Ketika prinsip sedemikian rupa dihadapkan dengan situasi kekerasan dan perlakuan salah di lingkungan pendidikan, apakah lalu pencapaian akademis sekolah layak untuk dinihilkan? Lebih luas lagi, di mana posisi sistem pendidikan nasional dalam pembangunan karakter para peserta didik?
Ketika prinsip sedemikian rupa dihadapkan dengan situasi kekerasan dan perlakuan salah di lingkungan pendidikan, apakah lalu pencapaian akademis sekolah layak untuk dinihilkan? Lebih luas lagi, di mana posisi sistem pendidikan nasional dalam pembangunan karakter para peserta didik?
Pelajaran penting dari butir di atas adalah, ke depannya, sangat
penting apabila potret yang tersaji mengenai situasi nonakademis disandingkan
dengan, jika ada, hasil telaah terkait pencapaian-pencapaian sekolah di area
akademis.
Kekurangan berikutnya ialah perspektif yang berhubungan dengan
posisi anak sebagai pelaku. Di dalam pernyataannya, KPAI banyak menyajikan
gambaran tentang anak sebagai korban kekerasan dan perlakuan salah di
lingkungan pendidikan. Padahal, berulang menjadi berita, ada pula
kejadian-kejadian di mana justru anak yang melakukan kekerasan dan
perbuatan-perbuatan yang tidak pantas lainnya terhadap guru di sekolah.
Temuan atau bahkan pengaduan tentang anak sebagai pelaku ialah
penting juga untuk disampaikan ke khalayak luas. Masyarakat juga perlu
disadarkan bahwa status anak tidak menjadikan mereka sebagai kelompok elite
yang tidak terjangkau hukum.
UU Perlindungan Anak memang diperuntukkan bagi anak yang berada
di posisi korban. Namun, pada sisi lain, RI juga telah bertahun-tahun memiliki
UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU yang satu ini diadakan sebagai
pesan bahwa anak-anak juga bisa berkedudukan sebagai pelaku dan sudah tersedia
piranti hukum untuk menangani mereka. Tak pelak, KPAI juga perlu menggiatkan
sosialisasi mengenai UU SPPA kepada para pemangku kepentingan di dunia
pendidikan kita.
Hal ketiga yang vakum dari kaleidoskop 2018 KPAI ialah komunikasi
publik oleh lembaga sebesar KPAI seyogianya tidak sekadar berhenti sampai
di pendataan peristiwa (kasus) belaka. Tugas konstitusional KPAI, sebagaimana
tercantum pada UU Perlindungan Anak, adalah jauh sekali lagi, jauh lebih luas
daripada itu.
Seberapa jauh KPAI menaruh keseriusan pada tugas-tugas
konstitusionalnya secara keseluruhan, minimal setara dengan penyebutan jumlah
dan bobot kejadian, itulah yang selama ini justru publik sangat nantikan.
Memperkuat diri
Gambaran yang cakupannya sebatas peta sebaran kasus justru
mengesankan negara (cq KPAI) tidak hadir. Padahal, potret sedemikian rupa,
tanpa harus menunggu pernyataan akhir tahun KPAI, sudah amat sering disampaikan
media dan warga net lewat banyak saluran.
Sebagai sebuah institusi berlogo burung garuda Pancasila, KPAI
juga sepatutnya mampu menyampaikan kerja-kerja nyatanya dengan mengacu pada UU
Perlindungan Anak, khususnya bagaimana pengaduan dan temuan disikapi
(ditangani) serta hasil dari penanganan tersebut.
Sebagai ilustrasi, dari sekian banyak kasus anak di lingkungan
pendidikan, seberapa banyak yang ditangani KPAI dan yang diatasi oleh lembaga
lain. Berlanjut, khusus pada kasus-kasus yang ditangani lembaga lain, seberapa
jauh KPAI tidak berlepas tangan dan tetap melakukan pemantauan sekaligus
berkoordinasi dengan lembaga itu.
Tidak kalah penting, bagaimana KPAI memberikan warna signifikan
bagi dihasilkannya kebijakan makro dan ketentuan teknis terkait kasus-kasus
yang meresahkan masyarakat banyak. Pada lingkup kerja demikian saya memandang
KPAI masih perlu memperkuat diri sendiri.
Bahkan dengan asumsi KPAI telah melakukan itu semua, agenda yang
harus KPAI kelola dengan lebih baik ialah memastikan publik juga
terinformasikan secara memadai.
Ditarik khusus ke ranah pendidikan, informasi yang lebih dari
sekadar jumlah insiden di sekolah akan membantu masyarakat untuk menatap 2019
dengan suasana batiniah yang lebih optimistis atau justru lebih skeptis bahkan
pesimistis.
Demikian pula, ketika agenda-agenda itu terkesan
terkesampingkan, ‘wajar’ bila sesama lembaga perlindungan anak tidak memperoleh
pencerahan dan standar kerja yang bisa diacu secara
nasional.
Ketidakjelasan sikap KPAI terhadap dugaan eksploitasi anak lewat
ajang audisi badminton oleh sebuah yayasan yang bernama persis dengan
perusahaan rokok, adalah ilustrasi nyata di mana KPAI justru mengambangkan
persoalan sehingga terkesan ‘membingungkan’ masyarakat.
Kebutuhan KPAI akan penguatan seperti tergambar di atas salah
satunya boleh jadi bersumber dari persinggungan antara KPAI dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Ruang lingkup, mata
rantai koordinasi, dan keluaran dari kedua institusi itu kiranya perlu lebih
didefinitifkan lagi.
================
artikel ini telah terbit di : Media Indonesia
Link : http://m.mediaindonesia.com/read/detail/208389-dunia-pendidikan-anak-2019-menjanjikan-atau-meresahkan
5 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar